PENYIKSAAN STAN LEE DI AKHIR HIDUPNYA

Kalau kita bicara soal dunia komik, sulit rasanya untuk nggak menyebut nama Stan Lee. Buat jutaan orang di seluruh dunia, dia bukan sekadar penulis atau editor, tapi sosok yang mengubah cara kita melihat superhero. Dia menghadirkan karakter-karakter yang terasa manusiawi, punya kelemahan, punya masalah sehari-hari, tapi tetap jadi pahlawan yang menginspirasi. Dari Spider-Man yang masih bergulat dengan urusan sekolah, Iron Man yang penuh dengan sisi arogan tapi juga rapuh, sampai X-Men yang sarat pesan sosial, semuanya lahir dari imajinasi seorang kakek berkacamata yang sering kita lihat tersenyum di balik layar. Setiap kali Stan Lee muncul dalam bentuk cameo di film-film Marvel, entah cuma sekedar ngomong satu kalimat atau sekadar lewat tapi penonton langsung bersorak. Rasanya kayak ada kehangatan tersendiri, seakan dia adalah bagian dari keluarga besar para penggemar komik dan film superhero. Itulah gambaran yang selama ini kita lihat: Stan Lee yang selalu ceria, penuh semangat, dan terus bekerja meski usianya sudah tidak muda lagi. Tapi, di balik sorotan kamera dan gemerlapnya dunia hiburan, ternyata ada cerita lain yang jauh lebih kelam. Banyak orang mungkin mengira di usia senjanya Stan Lee hidup dengan damai, dikelilingi keluarga, menikmati hasil kerja kerasnya, dan dihormati semua orang. Namun kenyataannya… tidak sesederhana itu. Di masa yang seharusnya menjadi waktu istirahat, Stan Lee justru menghadapi masalah-masalah besar yang jarang diketahui publik. Ada pertanyaan-pertanyaan tentang siapa saja yang benar-benar ada di sisinya, ada isu tentang bagaimana dia diperlakukan, bahkan ada kisah-kisah yang bikin kita merinding membayangkan seorang legenda justru harus melewati masa tua dengan cara yang begitu sulit. Kisah ini bukan cuma tentang seorang kreator besar dan karyanya yang mendunia, tapi juga tentang sisi rapuh dari kehidupan seorang manusia biasa, yang meskipun terlihat kuat dan ceria di depan banyak orang, ternyata menyimpan luka yang dalam di balik