Mulwanto adalah seorang juragan pemilik kebun yang mempunyai tiga anak, di mana anak bungsunya (Yanda) tidak mau melanjutkan pendidikan ke universitas seperti kakak-kakaknya. Pada tanggal 22 Selasa Kliwon, tepat saat wisuda dari anak keduanya (Nuri), Mulyanto meninggal secara tragis akibat tersengat listrik pada saat mandi. Konon siapa pun yang meninggal pada hari Selasa Kliwon akan mengajak anggota keluarganya untuk ikut mati bersama mereka. Keluarga yang ditinggalkan pun diminta menjalani serangkaian ritual pecah piring untuk mencegah hal tersebut. Wisesa, anak sulung yang berprofesi sebagai dokter, menolak ritual tersebut karena tidak masuk akal. Pada saat ritual berlangsung, istri Mulyanto (Rahmi) yang kondisi tubuhnya lemah tidak ikut melakukan ritual dengan ditemani oleh Wasesa dan berjalan di belakang rombongan.
Pada pagi hari kedua setelah mayat Mulyanto meninggal, Rahmi ditemukan tidur di jalan depan rumah dan berhasil diselamatkan tepat pada waktunya saat ada mobil melintas. Rahmi yang selalu merasa kedinginan berkata pada Nuri dan Ajeng bahwa dirinya akan segera pergi dan akan mengajak mereka. Di hari ketiga, Wasesa ijin pamit untuk kembali ke Yogya karena tuntutan pekerjaannya sebagai dokter. Pada malam hari, muncul penampakan pocong di kamar Rahmi diikuti dengan kipas pendingin ruangan di langit-langit yang jatuh dan membunuhnya.
Setelah kematian ibunya, Wasesa mulai melihat penampakan-penampakan dan merasa kedinginan sepanjang waktu. Setelah penguburan ibunya, Nuri bersama Yanda pergi menemui Mbah Sukma, orang pintar di tengah hutan yang direkomendasi oleh Pak Budi. Di waktu yang sama, Wisesa mulai mencurigai Pak Budi yang dari dulu suka ikut campur urusan keluarganya dan menemukan sebuah bola mata dan sebuah bungkusan di bawah tempat tidur rumahnya. Setelah mengirimkan foto mengenai bungkusan kepada adiknya, Wasesa melihat dan mengikuti penampakan almarhum ayahnya yang berjalan menuju ke dalam hutan.
Mulwanto adalah seorang juragan pemilik kebun yang mempunyai tiga anak, di mana anak bungsunya (Yanda) tidak mau melanjutkan pendidikan ke universitas seperti kakak-kakaknya. Pada tanggal 22 Selasa Kliwon, tepat saat wisuda dari anak keduanya (Nuri), Mulyanto meninggal secara tragis akibat tersengat listrik pada saat mandi. Konon siapa pun yang meninggal pada hari Selasa Kliwon akan mengajak anggota keluarganya untuk ikut mati bersama mereka. Keluarga yang ditinggalkan pun diminta menjalani serangkaian ritual pecah piring untuk mencegah hal tersebut. Wisesa, anak sulung yang berprofesi sebagai dokter, menolak ritual tersebut karena tidak masuk akal. Pada saat ritual berlangsung, istri Mulyanto (Rahmi) yang kondisi tubuhnya lemah tidak ikut melakukan ritual dengan ditemani oleh Wasesa dan berjalan di belakang rombongan.
Pada pagi hari kedua setelah mayat Mulyanto meninggal, Rahmi ditemukan tidur di jalan depan rumah dan berhasil diselamatkan tepat pada waktunya saat ada mobil melintas. Rahmi yang selalu merasa kedinginan berkata pada Nuri dan Ajeng bahwa dirinya akan segera pergi dan akan mengajak mereka. Di hari ketiga, Wasesa ijin pamit untuk kembali ke Yogya karena tuntutan pekerjaannya sebagai dokter. Pada malam hari, muncul penampakan pocong di kamar Rahmi diikuti dengan kipas pendingin ruangan di langit-langit yang jatuh dan membunuhnya.
Setelah kematian ibunya, Wasesa mulai melihat penampakan-penampakan dan merasa kedinginan sepanjang waktu. Setelah penguburan ibunya, Nuri bersama Yanda pergi menemui Mbah Sukma, orang pintar di tengah hutan yang direkomendasi oleh Pak Budi. Di waktu yang sama, Wisesa mulai mencurigai Pak Budi yang dari dulu suka ikut campur urusan keluarganya dan menemukan sebuah bola mata dan sebuah bungkusan di bawah tempat tidur rumahnya. Setelah mengirimkan foto mengenai bungkusan kepada adiknya, Wasesa melihat dan mengikuti penampakan almarhum ayahnya yang berjalan menuju ke dalam hutan.