Bab 11: Tersudut dalam Gelap

Alarm yang bergema di seluruh markas musuh membuat udara seolah bergetar. Lampu peringatan menyala merah mencerahkan lorong sempit yang kini harus mereka tempuh. Eida dan Pangeran Ogawa berlari cepat, napas mereka tersengal, namun langkah mereka tetap teratur dan selaras. “Ke kiri!” seru Ogawa. Eida mengikuti tanpa ragu, tubuhnya bergerak ringan meski adrenalin masih memenuhi seluruh tubuhnya. Suara musuh mulai mendekat dari berbagai arah langkah kaki berderap, suara radio berbunyi, dan teriakan perintah mulai terdengar. “Ogawa… mereka mengepung!” suara Eida bergetar. Ogawa menoleh cepat, matanya tajam namun tetap penuh ketenangan. “Kita masih punya jalan. Percaya sama aku.” Ia menggenggam tangan Eida dan menariknya ke sebuah pintu kecil di ujung lorong. Mereka masuk tepat sebelum sekelompok penjaga melintas. Ruangan itu gelap, sempit, dan hanya cukup untuk menampung dua orang begitu sempit hingga tubuh mereka hampir saling menempel. Ogawa menarik pintu perlahan dan menahannya agar tidak menutup terlalu berisik. Hening. Langkah musuh terdengar semakin dekat. Nafas Eida tertahan, tubuhnya gemetar meski ia berusaha tetap tenang. Tanpa sadar, ia memegang lengan Ogawa dengan kuat. Ogawa menundukkan wajahnya, berbisik sangat pelan, begitu dekat hingga napasnya menyentuh telinga Eida. “Tenang… aku tidak akan biarkan mereka menyentuhmu.” Suara itu seperti pelindung di tengah ketakutan. Hangat. Tegas. Menenangkan. Dalam gelap, mata mereka bertemu untuk beberapa detik tidak ada cahaya, tapi keduanya sama-sama merasakan keberadaan satu sama lain dengan jelas. Napas mereka bertaut, jarak di antara mereka hampir tidak ada. Di luar, suara musuh lewat. “Periksa lorong selanjutnya!” Langkah-langkah itu kemudian menjauh. Tapi Eida masih menempel pada Ogawa, detak jantungnya terdengar jelas di antara keheningan ruang sempit itu. Ogawa menggeser tangannya sedikit, memegang bahu Eida dengan lembut. “Kau gemetar.” “Aku… aku hanya ” “Tak