Bab 9: Bahaya yang Memaksa Kedekatan

Situasi misi semakin tegang. Informasi yang harus mereka ambil ternyata dijaga ketat oleh musuh yang lebih banyak dan lebih berpengalaman dari perkiraan. Setiap langkah harus diperhitungkan dengan teliti, karena satu kesalahan bisa berakibat fatal. Eida dan Pangeran Ogawa bergerak beriringan melalui lorong-lorong sempit bangunan yang ditinggalkan. Cahaya remang-remang hanya menyoroti sebagian kecil dari jalur mereka. Napas mereka terdengar jelas di tengah heningnya ruangan. “Tahan… ada patroli di depan,” bisik Pangeran Ogawa, menahan Eida dengan tangan yang tiba-tiba menyentuh lengannya. Kontak itu membuat tubuh Eida kaku seketika. “Maaf… aku…” Eida tersandung kata-kata, tetapi Pangeran Ogawa hanya menatapnya dengan mata tenang, seolah memberi isyarat bahwa ia baik-baik saja. Tak lama kemudian, sekelompok penjaga muncul dari ujung lorong. Pangeran Ogawa langsung menempatkan tubuhnya di depan Eida, menariknya perlahan ke belakang pilar. Keduanya tersembunyi di ruang sempit, hampir menempel satu sama lain. Detak jantung Eida semakin cepat. Aroma Pangeran Ogawa terasa lebih dekat, dan rasanya sulit menahan diri untuk tidak menatap matanya. “Kita harus bergerak… sekarang,” bisik Ogawa. Eida mengangguk, meski tubuhnya masih gemetar. Pangeran Ogawa menunduk sedikit, membisikkan strategi cepat yang harus mereka lakukan. Suara rendahnya seakan menembus seluruh konsentrasi Eida membuatnya semakin sadar akan perasaan yang selama ini ia sembunyikan. Mereka bergerak, saling bergandengan tangan sesaat untuk menghindari serangan mendadak. Kontak itu singkat, tapi cukup untuk membuat pipi Eida memerah dan hatinya berdetak tak karuan. Setelah berhasil melewati penjagaan, mereka berdua akhirnya menemukan tempat aman sebuah ruangan yang agak lapang dan terlindungi dari pandangan musuh. Napas mereka tersengal, tapi ada perasaan lega yang tak bisa disembunyikan. Eida menatap Pangeran Ogawa dari samping, ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu.