Dwayne “The Rock” Johnson dulu dikenal sebagai sosok yang hampir mustahil dibenci. Dari ring WWE sampai layar lebar Hollywood, karismanya seolah tak terbantahkan. Ia adalah tipe figur publik yang mampu menyatukan berbagai kalangan—baik penggemar gulat, penonton film aksi, sampai mereka yang hanya sekadar scroll Instagram dan terhibur dengan kontennya yang positif dan inspiratif. Tapi seperti kata pepatah, semakin tinggi pohon, semakin kencang angin menerpa. Belakangan ini, The Rock bukan cuma jadi sorotan, tapi juga bahan kontroversi yang cukup panas. Dalam hitungan bulan, namanya disebut dalam berbagai isu: mulai dari kegagalan film box office yang sempat digadang-gadang sebagai proyek raksasa, keputusan politik yang bikin banyak orang kecewa, sampai keterlibatannya di balik layar dunia gulat profesional yang malah menyulut kemarahan fans garis keras WWE.
Apa yang membuat semua ini jadi lebih menarik adalah betapa cepatnya citra The Rock berubah di mata publik. Dulu dielu-elukan, sekarang dikritik. Bahkan tak sedikit yang menyebut bahwa ia mulai kehilangan sentuhan “otentik”-nya—bahwa ia lebih sibuk menjaga citra daripada menjadi dirinya sendiri. Reaksinya yang dulu selalu terlihat bijak, kini malah dinilai dingin dan defensif. Bahkan, keputusannya untuk bergabung dengan dewan TKO Holdings—perusahaan induk WWE dan UFC—
yang awalnya dianggap langkah strategis dan visioner, justru malah jadi titik balik yang memicu berbagai reaksi negatif. Banyak yang menilai langkah itu bukan hanya soal bisnis, tapi juga soal kekuasaan dan pengaruh, apalagi ketika hubungannya dengan storyline WWE mulai terasa “dipaksakan”, bahkan sampai membuat sosok seperti Cody Rhodes tersingkir dari sorotan utama. Buat fans sejati WWE, itu bukan sekadar skenario hiburan, tapi soal rasa keadilan terhadap pegulat yang benar-benar berjuang dari bawah.